Daftar Blog Saya

Label

Rabu, 06 Oktober 2010

Together Forever


Senja hari yang damai, bahkan tidak pernah bisa sedamai hari ini. Sedikit aneh bila semuanya terlihat lengang dan begitu tenang. Tidak ada seorang pun yang menyadari keganjilan ini. Bahkan Toddy, yang hampir tidak pernah absen untuk menghafal setiap lika-liku sudut sebuah rumah tinggal yang sekarang ada di hadapannya pun tak terusik dengan lembayung senja yang mengalun pertanda akan terjadi sesuatu.
Remaja yang beranjak dewasa itu dengan sabar duduk di atas sepeda motor yang setiap hari menemani kegiatannya. Tak tampak sebatang rokok pun di tangannya. Maklum, dia tidak paham dengan candu rokok. Sebatang pun enggan dihirupnya.  Ia tau kalau tembakau yang tergulung kertas itu dapat merusak paru-parunya.
Pandangan matanya berpendar. Terbayang olehnya saat-saat di mana ia baru pertama kali ke rumah itu. Ia ingat persis bagaimana sesosok bidadari mungil berlari kecil menyambutnya dengan wajah damai, tanpa ekspresi yang berarti. Tapi, sungguh ! Toddy benar-benar telah terpikat oleh pesona bidadari yang kelu itu.
Tak pernah ada orang yang bisa dengan sabar menunggu sepertinya. Biasanya orang akan mulai sibuk menghubungi orang yang ditunggu dengan ponselnya, tetapi hal itu tidak berlaku untuk Toddy. Baginya, saat-saat seperti inilah yang memberi hiburan tersendiri baginya. Tak diragukan lagi, bidadarinya itu sedang tergesa-gesa untuk berdandan seadanya.
Selang beberapa menit, tampak sesosok wanita muda dengan terusan putih dan wajah yang bisa dikatakan tanpa polesan (bila pelembab bibirnya tidak dihitung sebagai make up). Senyum kecil tersungging di wajahnya yang pucat. Terpancar terang penuh damai di wajahnya yang sendu.
“Sori, ya. Aku tadi ketiduran. Kamu jadi kelamaan nunggunya,” fatamorgana surga terlukis di sekeliling wanita itu.
“Nggak, Julie sayang...Aku aja yang terlalu cepat datangnya. Ayo,” tangan padat itu menggenggam jemari kekasih sekaligus bidadari yang telah mengalihkan dunianya itu.
“Apa kamu mau menunggu aku lagi nanti? Aku harap kamu bisa sabar seperti saat ini lagi nanti...”
“Ya, sayang. Itu pasti. Aku akan slalu menunggumu. Aku akan tetap bersabar.”

Sepasang kekasih itu pun memulai perjalanan mereka. Dengan bermodalkan baju kaos berlapis kemeja lengan panjang, Toddy menghantam arus angin dengan tubuhnya yang rentan. Ia merelakan jaket baseball kesayangannya untuk sang kekasih yang memakai gaun tak berlengan.
Bagi Toddy, ini tidak menjadi masalah. Perjalanan yang mereka tempuh tidakklah terlalu jauh. Hanya sebatas pergi ke Gereja yang berjarak sekitar 15 menit dari persimpangan jalan rumah Julie. Tapi, lain halnya bagi Julie. Kondisi tubuhnya sedang buruk. Sungguh disayangkan Toddy tidak mengetahui hal itu. Julie tidak ingin kekasihnya terlalu khawatir padanya.
Julie selalu melemparkan senyum terbaiknya bagi Toddy. Ini adalah suatu kesalahan. Senyum Julie benar-benar menutupi penderitaan fisiknya dengan sempurna. Alangkah kagetnya bila suatu saat Toddy menyadari hal itu.
Perjalanan selama 15 menit dengan sepeda motor cukup membuat Julie melemah. Pandangan Toddy terpaku pada seputaran tempat parkir hingga ia tak menyadari raut wajah Julie yang berubah. Julie menyambar sapu tangan mungil yang ia bawa untuk menyembunyikan raut menyedihkan itu.
Keduanya melangkah masuk ke dalam rumah Tuhan yang menyajikan sayup-sayup dentingan lonceng dari atas. Toddy menggenggam erat tangan Julie. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tangan Julie dingin hampir seperti es.
Tanpa sempat mengucap sepatah kata pun untuk menanyakan keadaan wanita terkasih di sampingnya, sosok itu telah tersungkur menyentuh lantai Gereja. Genggaman keduanya terlepas. Seisi Gereja panik dan mulai berkerumun.
“Julie, kau kenapa ?? Ayo jawab !!” wajah Toddy pucat pasi. Ia terlalu panik.
Seorang jemaat (belakangan diketahui sebagai seorang perawat) mendekat dan meraba nadi sang gadis. “Maaf, dik. Ia telah berpulang ke rumah Bapa. Relakanlah dia...” jemaat itu berkerut dan menyingkir dengan nada pasrah.
“Apa?! Tidak ! Itu tidak mungkin !”
Tidak ada yang dapat dilakukannya. Bidadari berparas pucat itu telah pergi untuk selama-lamanya. Senyum damai tersungging di wajahnya yang kian membeku. Kelu.

Itu adalah kisah sepuluh tahun yang lalu. Saat sebelum seorang pemuda merasa bahwa hidupnya adalah hampa belaka. Ia terpuruk dalam kesedihan yang amat mendalam.
Tepat sesaat sebelum dijemput oleh sang kekasih, ia akhirnya kembali tersenyum.(fin-by PL)

Minggu, 19 September 2010

song, poem

sebelum membacanya pastikan anda
1.  mengerti bahasa yang saya gunakan
2. suka lagu2 jepang
3. ingin tau isi posting kali ini
Issai ni haitte
Ato ni tsuzuke to
Bakari ni minna
Hitori ja nai
(never alone, see?)
Dare ga sonna koto o
Shinjite kureru ka
Namidame ga unmei wo kaete yuku
Kawara nai taisetsu na mono wo
Reff : Kakugo desho
Nanka korunda tte tatsu
Agero kyou ichiban no jikan da
Hito ga nanto iu to doodemo yoi
Demo sono tabi ni omoidasu
Mi o sainamu kodoku kan
Ki-zukare ga suru
Dontsu o oboeru
Kitai ga urarigareta
Kokoro ni kizu-ato on nokusu
(to reff)

pai pui chapt 4 (the last)

‘Masihkah ada waktu bagiku untuk memberanikan diri memberinya sepotong pai blueberry buatan tanganku sendiri?’
Pai Pui chapt. 4
-‘(review) Tersenyumlah… ’-
Aku seorang siswi SMA Frutcy kelas xi sains unggulan yang diberi nama Piloupui Laftareist oleh kedua orang tuaku sekitar 16 tahun yang lalu. Dengan berbekal rasa cinta pertama yang begitu mendalam pada salah satu seniorku yang tak pernah menanggapi, aku berusaha bertahan di tengah krisis organ vital manusia. Lebih lagi sebulan lalu, saat aku diam-diam memeriksakan diri ke rumah sakit tanpa sepengetahuan siapapun, dokter memvonis bahwa aku mengidap kelainan jantung dan paru-paru yang berujung pada penyumbatan sel darah menuju ke otak. Belum cukup, aku pun menderita cedera pada lambung yang lebih dikenal dengan sebutan gastritis.
Tadi hanya sekadar review singkat tentang diriku. Kembali kita lanjutkan petualangan hidupku yang belum selesai.
Embun di pagi buta menebarkan bau basah
Detik demi detik kuhitung
Inikah saat ku pergi?
Oh,Tuhan kucinta dia. Berikanlah aku hidup
Takkan kusakiti dia, hukum aku bila terjadi
Aku tak mudah untuk mencintai
Aku tak mudah mengaku kucinta
Aku tak mudah mengatakan aku jatuh cinta
Senandungku hanya untuk cinta
Tirakatku hanya untuk engkau
Tiada dusta, sumpah kucinta
Sampai ku menutup mata
(Acha,OST.Heart)
Kuawali hariku dengan mendoakanmu
Agar kau slalu sehat dan bahagia di sana
Sebelum kau melupakanku lebih jauh
Sebelum kau meninggalkanku lebih jauh
Kutakpernah berharap kau kan merindukan keberadaanku
Yang menyedihkan ini
Ku hanya ingin bila kau melihatku
Kapanpun di mana pun
Hatimu kan berkata seperti ini
Pria inilah yang jatuh hati padamu
Pria inilah yang kan slalu mengawasimu
Aha,,yeah,,aha,,yeah
Begitu para raper coba menghiburku
….
(SO7)
Kedua lagu itu menjadi favoritku. Sangat mengena pada kisahku. Begitu mendalam bagiku. Aku yang telah terpuruk oleh rasa sayang yang teramat sangat hingga Amat pun tak dapat menandinginya.
Seakan ribuan jarum menghujam tubuhku, aku merasakan sakit yang begitu menyiksa. Hanya satu orang yang menghantui pikiranku, Erlan senpai. Dengan bayangan dirinya, aku berjuang keras untuk menahan derita ini. Berusaha untuk tetap bertahan demi menyampaikan rasa sayangku pada Erlan senpai.
Kucoba untuk melawan waktu yang terasa semakin singkat. Akhirnya kuputuskan untuk segera memberi sinyal pada Erlan senpai karena sungguh ku tak tau sampai kapan ku kan bertahan.
“Arai, Sheena, menurut kalian aku harus gimana?”
“Wah, kalau kamu udah buntu banget, kenapa gak sama Riyu senpai aja sih? Lagian tu anak kayaknya suka ama kamu,” Arai menanggapi dengan raut serius.
Tersenyum, Sheena pun angkat bicara,”Bener juga tuh, Pui. Gak ada salahnya kamu membuka peluang buat Riyu senpai. Sedih rasanya ngeliat kamu gini terus. Kalo sama Riyu senpai, pasti kamu gak cemberut terus. Lagian, dia tuh orangnya asyik.”
“Kalian aja sono, jadian ama tuh tupai jelek. Merusak keturunan aku kalo harus sama dia. Ih, amit-amit dah…Aku tuh udah nganggep dia sodara aku. Ya nggak mungkinlah..” kucoba menepis saran celaka itu.
“Gak tau, ah….Pusing mikirinnya,” kuakhiri percakapan singkat kami di gerbang sekolah itu.
Aku mulai mencoba membuat teka-teki untuk mengetahui anggapan serta perasaan Erlan padaku. Semua itu kuawali dengan meminta temanku meminjamkan bukunya untukku tanpa ia tau siapa yang menginginkannya. Cukup 2 malam.
Gak tau kenapa, aku ketagihan saat mendengar betapa penasarannya Erlan pada sang pemuja rahasia yang tak lain adalah diriku sendiri. Aku tak membiarkan temanku itu memberi tau Erlan senpai bahwa akulah yang meminjam buku itu.
“Kamu tuh misterius banget buat dia,” Viqie menceritakan segala reaksi Erlan senpai.
“weiz…hebat dumz aku. Mau Bantu aku lagi? Nih…” secarik kertas terukir namanya dengan indah. Aroma kertas itu begitu mirip dengan semerbak parfum yang menjadi cirri khasku.
Penasaran siapa aku?
Clue : aku selalu dikelilingi oleh aroma rerumputan.
Petunjuk itu tak lupa kucantumkan dalam secarik kertas yang kutitipkan lagi pada Viqie. Apa aku cukup misterius?
Selanjutnya, tepatnya sehari setelah itu, di hari Valentine. Aku menitipkan bingkisan kado berbungkus kertas merah yang kuselipkan lagi sebuah petunjuk untuknya. Aku ingin membuatnya lebih dan lebih penasaran lagi padaku.
Masih belum tau aku siapa?
Clue : cari pasangan dari gantungan kunci ini. Hanya aku yang punya. Sepasang yang kita miliki hanya ada satu di seluruh dunia ini.
Terus terang, aku mengharapkan respon baik darinya. Kuingin Erlan menyukaiku bukan karena aku menyukainya, tapi karena dia emang suka sama aku. Aku gak mau Erlan senpai mau jadi pasanganku karena aku yang menginginkannya, tapi aku benar-benar berharap bahwa itu semua memang keinginannya.
Memang kedengarannya terlalu perfectionis. Semua terasa semakin sulit. Aku tak ingin permainan ini segera berakhir karena aku sangat menikmatinya. Tapi apalah dayaku saat aku dipaksa untuk mengakhirinya oleh suatu hal yang tak dapat kuhindari.
“Aku udah usaha buat kasi tau dia. Moga aja dia ngerti. Tinggal nunggu waktu deh ntar dianya gimana…” sungguh besar rasa terima kasihku pada Arai.
“Pui yang sabar ya. Coba terus buat ungkapinnya lewat gerak-gerikmu. Cia you!!” Sheena pun tak kalah dukungan padaku.
Di tengah upacara bendera, kurasakan sesuatu yang aneh. Batinku mulai tak tenang. Perlahan pandanganku mulai kabur. Akh, hanya gelap yang dapat kulihat. Sayup-sayup aku masih dapat mendengar histeris para siswa di sekelilingku.
Lama sekali rasanya aku terkurung di ruang hampa ini. Aku pun tak dapat merasakan apa-apa di tubuhku. Setidaknya aku masih bisa mendengar suara-suara yang meskipun tak begitu jelas, namun tetap membuatku tenang.
Sakit sekali rasanya. Berkali-kali jarum suntik dan sengatan listrik memaksa masuk ke kulitku. Ingin aku berteriak sekencang-kencangnya. Tapi tak satu kata pun mampu kuucapkan.
Entah berapa lama aku terjebak dalam dunia yang gelap gulita ini. Kutelusuri setiap sudut yang dapat kuterawangi. Aku tetap tak tau kenapa aku tak dapat melihat apapun di sini. Tubuh ini pun belum berhasil kugerakkan.
Ada yang menyentuh tanganku.
“Pui, ayolah. Kamu pasti bisa bertahan…”seseorang berusaha mengajakku bicara, disinyalir sebagai suara Arai dan Sheena.
“Iya, Pui. Kamu tuh harapan semua orang. Gimana kelas, dunia dan kehidupan kami tanpamu?” aku kenal suara yang satu ini, Funarth.
“Pui….” Tak salah lagi ini adalah tangisan Uci.
Usahaku mengangkat kedua kelopak mataku tak sia-sia. Pandanganku berpendar pada semua orang di sekelilingku. Oh, senangnya! Ada Erlan senpai di sampingku. Kudengar semua orang di ruangan mulai bersorak sorai gembira.
“Pui udah sadar!!”
“Aku tau kamu bisa..!!”
Senyum. Itu hal pertama yang kulemparkan pada Erlan senpai yang tampak sedang menyeka air matanya. Dia duduk tepat di samping tempat aku terkulai lemas. ‘Apa dia sungguh mengkhawatirkan aku?’
“Pssstt, Erlan senpai udah dua mingguan ini nungguin kamu,” Uci berbisik padaku.
“Hue? Udah selama itu aku di sini?”
“Iya. Kamu tuh tiba-tiba pingsan pas upacara kemarin,” Sheena dengan tampang sedihnya menjelaskan.
“Wow, hebat. Lama banget aku pingsan,” kagum.
“Bodoh! Bukan saatnya buat ngagumin kejadian itu. Semua orang panic, tau! Nih, aku bawain pai blueberry yang ada krim strawberry kesukaan kamu. Diamakan, ya?” weleh..weleh…, Erlan senpai angkat bicara. Tampaknya dia sangat khawatir padaku. Hanya senyum yang mampu kuberikan untuknya.
Blsst!! Gelap lagi? Oh, tidak…Tapi yang kali ini terasa berbeda. Tubuhku ringan! Aku pun dapat melihat kembali. Tapi mereka semua histeris. Anehnya lagi aku merasa kalau mereka ada di bawahku. Jangan-jangan…
“Pui, kamu jangan pergi! Aku masih belum sempat bilang kalo aku juga suka sama kamu. Pui, jangan tinggalin kami semua…” waduh…Erlan senpai menangis…”aku tau kalau yang membuat semua teka-teki itu untukku…” ia melajutkan untaian katanya.
Kulihat Rex berjalan mendekat, lalu memeluk aku yang di bawah.
“Aku belum minta maaf sama kamu. Kumohon, aku gak rela kamu pergi..” dia juga menangis.
Aku sadar apa yang terjadi. Aku kini telah meninggalkan segala yang kumiliki. Ternyata yang merenggutnya adalah virus leukimia yang telah mencapai tingkat stadium 4. dan pahitnya, aku tak mampu bertahan lebih lama karena organ tubuhku pun mengalami gangguan yang cukup kronis.
Tujuanku kini adalah sebuah kehidupan abadi. Suatu saat di mana aku tak lagi merasakan dunia. Yang tampak kini sebuah gerbang megah benderang di hadapanku. Dua malaikat menggiringku untuk melangkah masuk menuju pengadilan terakhir.
“Erlan senpai udah telat ngucapinnya. Aku sekarang harus pergi. Aku gak bisa balik lagi. Senpai udah telat. Selamat tinggal. Maafin aku,ya…Kuharap kau akan tetap tersenyum untukku. Ayo, tersenyumlah….” dan jangan lupa bungkuskan kue pai tadi untukku. Aku khawatir di dunia berikutnya gak ada kue pai blueberry. Hehe…
~ Tamat ~

pai pui chapt 3

‘Akankah aku bisa menikmati sepotong kue pai blueberry kesukaanku di samping Erlan senpai yang dengan setia menemani saat-saat hembusan terakhirku?’
Pai Pui chapt. 3
-‘menjalani detik terakhir ’-
Aku benci bila harus mengakui keadaanku yang sekarat ini. Tak habis pikir bila orang yang dianggap cewek bertenaga super yang fansnya segudang ini bisa terpuruk. (tunggu dulu. Apa hubungannya fans ama anggapan itu ya? Ah, udahlah. Puyeng mikirin jawabannya.)
Dia adalah dirinya yang membuat ia menjadi segalanya di hatiku yang begitu mencintai dia seolah ia adalah segalanya tanpa perlu tau apa dia merasakan hal yang sama atau tidak. Bayangan yang ditinggalkannya membuat dia selalu ada di jiwa yang memiliki rasa cinta begitu dalam ini.
Apa yang menarik? Mengapa terjadi? Kapan awalnya? Darimana asalnya? Bagaimana bisa? Siapalagi kalau bukan Erlan senpai. Dia membuatku begitu parah. Pikiranku selalu dipenuhi oleh segala hal tentangnya.
Suatu siang, jam istirahat sekolah, aku mengkhayal.
“Pui mau senpai beliin apa buat hadiah ulang taun Pui ntar?”
“Aku mau kue pai blueberry besar yang disiram saus strawberry.”
“Sip lah. Ntar senpai beliin.”
“Benar nih? Serius kan?”
“Iya.”
Terus saja kenangan hadiah terindah 3 bulan yang lalu itu terngiang di benakku. Kue pai blueberry mini yang tertulis ‘happy birthday’ di atasnya dengan saus strawberry keinginanku diletakkan oleh Erlan senpai di atas mejaku. Ternyata tak hanya kue pai, senpai juga memberiku sebuah novel langka yang kucari di setiap toko buku tanpa membawa hasil yang berarti. Kini novel itu kudapatkan.
“Nah, lo! Ngelamun jorok, ya? Ngiler banget tampangnya,” Funarth datang tiba-tiba dan langsung mengacak rambut indahku yang memang tak pernah rapi (?).
“Ih ! Apaan sih!” kutepis tangan tak berperikerambutan itu.
“Ah, aku tau. Pai blueberry yang waktu itu lagi?”
“Tuh tau. Pai yang waktu itu adalah pai terenak yang pernah kumakan,” mantap dan tegas jawabanku seolah menantangya.
“Painya atau yang ngasih kamu pai itu…?? Hayo…”
“Udah, deh. Namanya juga orang jatuh cinta. Sewot aja kamu nih. Kenapa? Cemburu?” pancingan yang buruk.
“Huahaha…..Gak mungkin aku bisa suka sama cewek yang tingkah lakunya gak karuan kayak kamu. Cantik sih iya. Tapi sama aja ntar rasanya pacaran sama monyet. Huahahaha….” Tuh, kan. Bener apa kataku. Itu merupakan pancingan kata-kata yang buruk.
Itulah Funarth. Teman sebangkuku yang menyebalkan tapi seringkali menjadi korban kejahatan ‘cicak’ yang kulemparkan padanya hanya untuk sekadar iseng. Seorang makhluk yang menyedihkan dan bernasib tragis karena harus duduk sebangku dengan aku yang jahilnya selagit ini.
Banyak hal yang mengusik pikiranku akhir-akhir ini. Salah satunya tentang Erlan senpai, tentunya. Kalian tau itu. Aku penasaran dengan segala hal tentang dia. Baik dari sikapnya padaku hingga rumor yang beredar tentangnya. Aku gak paham mengapa ia memberiku secercah harapan lalu menghapusnya lagi. Terus saja semua itu terulang.
Hidup ini penuh akan misteri yang tak dapat kita pecahkan sebelum menjalaninya hingga akhir. Tak ubahnya dengan apa yang kualami sekarang. Kisah ini seakan tak pernah usai, dan tak akan pernah usai selama aku masih jadi pengecut yang terus menyembunyikan perasaanku dari Erlan senpai. Entah kapan aku akan berani mengutarakan atau sekadar sedikit memberi sinyal cinta padanya.
“Kenapa kamu gak jujur aja sama Erlan ? Hobinya pasang tampang sok cool lagi di depan dia. Mana dia tau kamu suka atau gimana sama dia…
“Ara…Aku masih gak berani. Dekat dia aja aku gemetaran..” kutundukkan kepalaku.
“Ayolah….Kamu pasti bisa.”
“Suatu saat nanti dia bakal aku kasi tau. Hanya butuh sedikit keberanian dan waktu yang tepat aja,” sok puitis.
“Berat bahasanya. Tapi kapan? Bentar lagi kan mereka ujian. Trus, pergi dari skul ini. Dia kan tajir, pasti kuliahnya gak di daerah sini. Mungkin aja ke luar negeri,” terlalu sedih untuk mengakui kenyataan yang satu ini.
Aku merenungkan semua perkataan Arai. Tak ubahnya dengan Sheena, teman sebangku Arai yang juga menyukai senior. Kami berdua sama aja. Gak berani bilang apa-apa sama orangnya. Suatu saat, sebelum semuanya terlambat, aku dan Sheena harus berhasil mengutarakan rasa yang telah lama kami pendam.
Ini tentang Aries Talagant, senior yang begitu dipuja puji oleh Sheena. Belakangan diketahui senior bergelar ‘autis’ yang satu ini lagi pedekate sama cewek skul lain. Sheena broken heart banget. Tapi usut punya usut, ternyata itu cuma rumor yang beredar dari lidah-lidah tak bertulang para penggemar Aries. Bedanya dengan Sheena, mereka hanya ngefans ama anak ‘autis’ yang terkenal namun masih kalah pamor denganku itu. Kalau Sheena sih, udah cinta mati ama Aries.
Bahagianya, Sheena berani sms-an ama Aries. Aku dan Erlan senpai? Jangan ditanya. Aku gak berani ngirim pertanyaan ‘apa kabar’ seperti yang setiap hari dilakuin oleh Sheena ke handphone rongsokan korban kejahatan Aries. Handphone yang selalu dijatuhkannya hingga hampir tak jelas lagi apakah benda itu benar-benar HP atau bukan.
Di rumah Uci, malam pergantian tahun..
“Tupai, romantis banget ya seandainya aku bisa nyaksiin pertunjukan kembang api ini sama ‘dia’….” kulihat Riyu senpai hampir tewas menertawakan kata-kataku.
“Huahahaha…. Kebanyakan nonton sinetron kamu nih. Apa gak romantis kalo liatnya bareng aku en temen-temenmu ini? Ih, nyet-nyet ja’at….” Ingin kulempar ke laut rasanya manusia yang satu ini.
“Apaan sih?!” dengusan kesal pun tak terelakkan.
“Ngomong-ngomong, apa kamu gak dicariin sama petugas Ragunan?”
Mendelik, kaget,”Hah?! Memangnya kenapa?”
“Ck…ck… Kamu ini ya, udah kabur tengah malam dari kandang, masih aja pasang tampang non criminal.”
“TUPAI !!!!” aku bangkit berdiri agar sepatu di kakiku bisa mendarat lebih keras di tubuhnya.
“Gak kena. Weeekk….” Selalu saja membuatku kesal.
Pengejaran yang melibatkan oknum-oknum bersangkutan pun dimulai. Tak ayal lagi cucuran air asin dari tubuh mengalir. Dan pelarian teroris kata-kata berakhir dengan tertangkapnya Riyu senpai yang kemudian diangkut beramai-ramai menuju bak air raksasa tertanam dalam tanah yang ada di rumah Uci.
“Hahahahaha…….” Gelak tawa membahana melihat Riyu senpai yang basah kuyup.
Riyu senpai menarik teman-teman lainnya ke dalam air. Alhasil, splash!! Udah 12 orang yang jadi korban keganasan suhu air di kolam.
Kurasakan tangan basah menyentuh kakiku. Tangan itu adalah tangan Rexia. Tapi, tunggu! Dia mau ap…
“Egh..,tolong ! Aku gak…gak bisa..hlegh..berenang….!!” dalam sekejap aku telah berpindah dari tanah kering yang nyaman menuju kumpulan air ganas yang serasa ingin melahapku begitu saja.
Aku sempat melihat senyum penuh makna di wajah Rexia yang perlahan naik ke permukaan dalam pandanganku yang mulai tampak memudar. Panas hati rasanya melihat senyum itu. Dan aku akhirnya melihat kegelapan yang menakutkan di sekelilingku.
“Hegh…” aku mencoba untuk membuka jendela mataku yang terasa berat.
“Pui, kamu udah sadar??” ucapan panic banyak orang terdengar dan kutanggapi dengan anggukan kecil.
“Pui….” Uci tampak paling cemas di antara yang lain.
“Siapa yang tadi buat kamu jatuh ke kolam?! Kamu bisa mati tenggelam tadi. Kamu tuh kan gak bisa berenang,” lanjutnya.
“Aku gak tau, Cie chan…” bohong! Sebenarnya aku tau kalau tadi itu Rex yang menarikku. Tak apalah. Yang penting pertemanan kami gak selesai hanya karena masalah sepele ini.
“Sepele katamu? Kenapa gak diceritain aja kemarin pas di rumah Uci?” Funarth mendengarkan semua kisahku yang berlangsung tragis kemarin dan hampir saja nyawaku terenggut karenanya.
“Aku gak mau merusak hubungan kami. Gak boleh ada pertengkaran hanya dengan masalah seperti ini,” karena aku ingin berbuat baik sebelum…..
“Tapi kan gak bisa gitu, Pui. Dia harus bertanggung jawab atas segalanya!” Funarth terdengar semakin emosi.
“Udahlah. Gak usah dibahas. Aku anggap masalah ini selesai.”
Bodoh! Apanya yang selesai? Semakin hari semakin banyak kabar tak sedap tentangku yang menjadi perbincangan para biang gossip. Dan pastinya, yang menjadi narasumber penipu itu adalah Rexia. Ya, siapa lagi selain dia. Tanpa diberi tau pun aku sadar semua itu lambat laun akan dilakukannya. Memang udah jadi kebiasaan dia memfitnah orang-orang yang tak disukainya.
Bukan hanya gossip murahan itu yang menjadi masalahnya. Mungkin kalo hanya sekedar gossip, aku masih bisa tenang. Tapi inti konfliknya adalah jantung dan paru-paruku yang jadi kian memburuk kondisinya setelah perkara menyelam paksa di kolam renang Uci. Aku gak tau sampai kapan aku bisa bertahan.
Detik demi detik kuhitung. Oh Tuhan, aku mencintainya. Berikanlah waktu lagi padaku. Kuharap aku tetap bertahan. Hanya Erlan senpai yang kupikirkan. Bukan hanya itu, aku juga berharap tak seorang pun menangis karenaku. Aku ingin semuanya tetap tersenyum.
Kutatap kue pai yang dibeliin sama mama kemarin. Lekukan indah yang di atasnya dilumuri penuh oleh krim strawberry berhiaskan potongan-potongan asli buah blueberry. Tatapan kosong. Kehampaan yang kini ada pada diriku. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan untuk membuat Erlan menyadari rasa ini sebelum aku meninggalkannya jauh dan tak kembali lagi.
‘Masihkah ada waktu bagiku untuk memberanikan diri memberinya sepotong pai blueberry buatan tanganku sendiri?’
~ to be continued ~