Senja hari yang damai, bahkan tidak pernah bisa sedamai hari ini. Sedikit aneh bila semuanya terlihat lengang dan begitu tenang. Tidak ada seorang pun yang menyadari keganjilan ini. Bahkan Toddy, yang hampir tidak pernah absen untuk menghafal setiap lika-liku sudut sebuah rumah tinggal yang sekarang ada di hadapannya pun tak terusik dengan lembayung senja yang mengalun pertanda akan terjadi sesuatu.
Remaja yang beranjak dewasa itu dengan sabar duduk di atas sepeda motor yang setiap hari menemani kegiatannya. Tak tampak sebatang rokok pun di tangannya. Maklum, dia tidak paham dengan candu rokok. Sebatang pun enggan dihirupnya. Ia tau kalau tembakau yang tergulung kertas itu dapat merusak paru-parunya.
Pandangan matanya berpendar. Terbayang olehnya saat-saat di mana ia baru pertama kali ke rumah itu. Ia ingat persis bagaimana sesosok bidadari mungil berlari kecil menyambutnya dengan wajah damai, tanpa ekspresi yang berarti. Tapi, sungguh ! Toddy benar-benar telah terpikat oleh pesona bidadari yang kelu itu.
Tak pernah ada orang yang bisa dengan sabar menunggu sepertinya. Biasanya orang akan mulai sibuk menghubungi orang yang ditunggu dengan ponselnya, tetapi hal itu tidak berlaku untuk Toddy. Baginya, saat-saat seperti inilah yang memberi hiburan tersendiri baginya. Tak diragukan lagi, bidadarinya itu sedang tergesa-gesa untuk berdandan seadanya.
Selang beberapa menit, tampak sesosok wanita muda dengan terusan putih dan wajah yang bisa dikatakan tanpa polesan (bila pelembab bibirnya tidak dihitung sebagai make up). Senyum kecil tersungging di wajahnya yang pucat. Terpancar terang penuh damai di wajahnya yang sendu.
“Sori, ya. Aku tadi ketiduran. Kamu jadi kelamaan nunggunya,” fatamorgana surga terlukis di sekeliling wanita itu.
“Nggak, Julie sayang...Aku aja yang terlalu cepat datangnya. Ayo,” tangan padat itu menggenggam jemari kekasih sekaligus bidadari yang telah mengalihkan dunianya itu.
“Apa kamu mau menunggu aku lagi nanti? Aku harap kamu bisa sabar seperti saat ini lagi nanti...”
“Ya, sayang. Itu pasti. Aku akan slalu menunggumu. Aku akan tetap bersabar.”
Sepasang kekasih itu pun memulai perjalanan mereka. Dengan bermodalkan baju kaos berlapis kemeja lengan panjang, Toddy menghantam arus angin dengan tubuhnya yang rentan. Ia merelakan jaket baseball kesayangannya untuk sang kekasih yang memakai gaun tak berlengan.
Bagi Toddy, ini tidak menjadi masalah. Perjalanan yang mereka tempuh tidakklah terlalu jauh. Hanya sebatas pergi ke Gereja yang berjarak sekitar 15 menit dari persimpangan jalan rumah Julie. Tapi, lain halnya bagi Julie. Kondisi tubuhnya sedang buruk. Sungguh disayangkan Toddy tidak mengetahui hal itu. Julie tidak ingin kekasihnya terlalu khawatir padanya.
Julie selalu melemparkan senyum terbaiknya bagi Toddy. Ini adalah suatu kesalahan. Senyum Julie benar-benar menutupi penderitaan fisiknya dengan sempurna. Alangkah kagetnya bila suatu saat Toddy menyadari hal itu.
Perjalanan selama 15 menit dengan sepeda motor cukup membuat Julie melemah. Pandangan Toddy terpaku pada seputaran tempat parkir hingga ia tak menyadari raut wajah Julie yang berubah. Julie menyambar sapu tangan mungil yang ia bawa untuk menyembunyikan raut menyedihkan itu.
Keduanya melangkah masuk ke dalam rumah Tuhan yang menyajikan sayup-sayup dentingan lonceng dari atas. Toddy menggenggam erat tangan Julie. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tangan Julie dingin hampir seperti es.
Tanpa sempat mengucap sepatah kata pun untuk menanyakan keadaan wanita terkasih di sampingnya, sosok itu telah tersungkur menyentuh lantai Gereja. Genggaman keduanya terlepas. Seisi Gereja panik dan mulai berkerumun.
“Julie, kau kenapa ?? Ayo jawab !!” wajah Toddy pucat pasi. Ia terlalu panik.
Seorang jemaat (belakangan diketahui sebagai seorang perawat) mendekat dan meraba nadi sang gadis. “Maaf, dik. Ia telah berpulang ke rumah Bapa. Relakanlah dia...” jemaat itu berkerut dan menyingkir dengan nada pasrah.
“Apa?! Tidak ! Itu tidak mungkin !”
Tidak ada yang dapat dilakukannya. Bidadari berparas pucat itu telah pergi untuk selama-lamanya. Senyum damai tersungging di wajahnya yang kian membeku. Kelu.
Itu adalah kisah sepuluh tahun yang lalu. Saat sebelum seorang pemuda merasa bahwa hidupnya adalah hampa belaka. Ia terpuruk dalam kesedihan yang amat mendalam.
Tepat sesaat sebelum dijemput oleh sang kekasih, ia akhirnya kembali tersenyum.(fin-by PL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar