Buat yang rajin view blog2 ku (banyak sih blognya.Hhe...), pasti udah tau cerita ini
by : priska liadi, xi ipa 2
“ Harui, aku jadi makin suka sama Evan. Sukaaa…aa banget.”
Deg ! Ugh, kenapa aku jadi ngerasa gak enak banget denger kata – kata Alen. Padahal kan ini bukan pertama kalinya Alen bilang kalo dia suka sama Evan. Kok sekarang aku risih denger kalimat itu??
“ Thanks, ya kemarin kamu udah ngajak aku ikutan BakSos bareng anak – anak OSIS. Jadinya aku bisa deketan deh sama Evan,” lanjutnya dengan wajah tersenyum sumringah.
Sakit. Itu yang kurasakan saat mendengarnya. Kenapa ? Kan aku sendiri yang dulu berjanji buat ngedeketin Alen sama Evan. Apa yang salah ? Aku untuk pertama kalinya merasa risih mendengar kata - kata ‘aku makin deket sama dia’ yang keluar dari mulut Alen. Ini kan udah ke sekian kalinya.
Brakk !! Ups..!! Aku tak sengaja menabrak gerbang sekolah. Aku kehilangan konsentrasi gara – gara mendengarkan ucapan Alen. Ugh, sakit banget.
“ Rui, kamu kenapa ?” tanya Alen sambil tangannya menggoyangkan tubuhku. “ Kamu sakit ?” lanjutnya.
“ Ah, apa ? eh, aku gak kenapa – kenapa, kok,” jawabku untuk meyakinkannya sambil berusaha bangkit berdiri. Memang, aku gak sakit secara fisik. Tapi sepertinya hatiku terluka. Apa aku suka sama Evan ?
“ Ah, apa ? eh, aku gak kenapa – kenapa, kok,” jawabku untuk meyakinkannya sambil berusaha bangkit berdiri. Memang, aku gak sakit secara fisik. Tapi sepertinya hatiku terluka. Apa aku suka sama Evan ?
♫♪…. !!
Bel masuk berbunyi. Membuat aku dan Alen mempercepat langkah menuju ke ruang kelas kami. Tapi, aku masih terus memikirkan kata – kata Alen tadi. Membuatku tak begitu berkonsentrasi pada semua pelajaran hari ini.
Bel masuk berbunyi. Membuat aku dan Alen mempercepat langkah menuju ke ruang kelas kami. Tapi, aku masih terus memikirkan kata – kata Alen tadi. Membuatku tak begitu berkonsentrasi pada semua pelajaran hari ini.
Aku Harui Lorelai. Seorang yang baru dua bulan lalu menjabat sebagai ketua OSIS di SMAN 77 Bandung ini. Jabatan yang akhirnya kudapatkan setelah sebelumnya aku melewati seleksi dan persaingan yang cukup berat. Dengan Evan.
Ya. Dialah yang membuat aku menduduki jabatan ketua OSIS ini. Awalnya dia meremehkan aku, seolah aku tak mampu untuk bersaing dengannya. Karena aku gak terima digituin, maka aku pun mencalonkan diri sebagai kandidat ketua OSIS. Hal yang mengejutkan bagi Alen. Setahu dia, aku ini orangnya paling gak mau direpotin sedunia hanya untuk hal yang seperti itu.
“ Jadi, anak – anakku sekalian, ketua OSIS sekolah kita untuk tahun ajaran ini dengan perolehan suara yang sangat jauh berbeda disbanding para pesaingnya yaitu…. Harui Lorelai !!” seruan pak KepSek yang masih terus kuingat. Tentu saja. Itu hari yang cukup bersejarah bagiku. Hari di mana seorang Harui yang biasa saja mendadak menjadi bahan obrolan utama di sekolah, Mendadak beken.
“ Alen, ntar pulang sekolah temenin aku ke toko buku, ya ?” tanyaku dengan ekspresi memelas pada Alen. Aku pun memandangnya dengan mata berbinar yang selalu membuatnya luluh dengan kata –kataku.
“ Ih, gak usah pasang tampang gitu kali. Pasti aku temenin, kok. Yang jelas sekarang kita ke kantin dulu. Laper nih,” kata Alen seraya menarik tanganku.
“ Yup. Ayo.” Kami berdua pun dengan segera melangkah menuju kantin.
“ Ih, gak usah pasang tampang gitu kali. Pasti aku temenin, kok. Yang jelas sekarang kita ke kantin dulu. Laper nih,” kata Alen seraya menarik tanganku.
“ Yup. Ayo.” Kami berdua pun dengan segera melangkah menuju kantin.
Sepulang sekolah, Alen menemaniku pergi ke toko buku. Tempat aku biasa mencari benda favoritku ( tentu saja benda itu adalah buku. Gak mungkin kan kalo beli makanan di toko buku ? ). Hari ini aku bermaksud membeli sebuah novel terbitan baru yang katanya baru akan dipasarkan hari ini.
“ Ah, ini dia. Ketemu juga akhirnya…,” seruku girang saat menemukan sebuah buku bersampul hijau daun yang memang telah menjadi incaranku hari ini. “ Alen, udah ketemu nih bukunya. Ke kasir, yuk ?” ajakku.
“ Wah, kayaknya keren tuh bukunya. Ntar pinjemin aku, ya ? Ayo, deh. Kita langsung ke kasir aja. Makin cepet makin baik. Aku udah laper nih,” Alen menggerutu.
Selesai membayar, kami lanjut ke HOSHI TEI. Biasalah, cacing – cacing di perut ini udah meronta kelaparan. Kasian banget deh. Hehe..
“ Wah, kayaknya keren tuh bukunya. Ntar pinjemin aku, ya ? Ayo, deh. Kita langsung ke kasir aja. Makin cepet makin baik. Aku udah laper nih,” Alen menggerutu.
Selesai membayar, kami lanjut ke HOSHI TEI. Biasalah, cacing – cacing di perut ini udah meronta kelaparan. Kasian banget deh. Hehe..
“ Pesan apa aja, Rui. Ntar aku bayar. Hari ini aku yang traktir. Gak enak kalo kamu terus yang traktir aku,” kata – kata yang membuatku bahagia di akhir minggu seperti ini.
“ Oke, bos,” jawabku dengan semangat.
Ah, makan enak tanpa harus mengeluarkan biaya. Favoritku. “ Boleh lagi nih besok – besok. Ehehe…, ” ujarku.
“ Ieh, kamu nih. Maunya…”
“ Hahaha….,” kami pun tertawa.
“ Oke, bos,” jawabku dengan semangat.
Ah, makan enak tanpa harus mengeluarkan biaya. Favoritku. “ Boleh lagi nih besok – besok. Ehehe…, ” ujarku.
“ Ieh, kamu nih. Maunya…”
“ Hahaha….,” kami pun tertawa.
Aku pun akhirnya pulang ke rumah setelah cukup lama berjalan – jalan dengan Alen. Berada di dalam ruang berukuran 5 x 7,5 meter, yaitu kamarku, membuatku aku merasa cukup aman dan nyaman. Aku lelah.
♪♫♪…♪♪…
Handphone-ku berbunyi. Ternyata ada sms. Perlahan kubaca isinya.
Hai.
Met siank.
Aq cuma mu ngucapin :
Happy b’day y, Rui..
-Evan-
♪♫♪…♪♪…
Handphone-ku berbunyi. Ternyata ada sms. Perlahan kubaca isinya.
Hai.
Met siank.
Aq cuma mu ngucapin :
Happy b’day y, Rui..
-Evan-
Wah, Evan inget ulang tahunku. Dengan segera kutekan tombol ‘reply’.
Thanks y ucpn ny.
Ntar jgn lupa hdiah na y
Hhe…
-Rui-, ‘send’.
Thanks y ucpn ny.
Ntar jgn lupa hdiah na y
Hhe…
-Rui-, ‘send’.
Keesokan harinya, tepat hari ulang tahunku, Evan memberiku sebuah bingkisan. Ternyata dia nanggepin serius sms-ku Evan memberikan hadiah itu setelah Alen. Belakangan aku baru tahu kalau ternyata Evan tahu hari ulang tahunku dari Alen.
Mereka jadian tepat sehari setelah ulang tahunku. Walu sakit rasa hatiku melihat mereka berduaan, tapi aku harus turut berbahagia untuk Alen. Biar gimana pun, Alen kan sahabatku. Aku gak boleh mikir macam – macam.
Hari kian berlalu. Kulihat mereka berdua makin akrab aja. Akhirnya aku mulai kehilangan rasa yang dulu sempat kutambatkan pada Evan. Saat ini aku lebih memikirkan karangan drama yang akan kutulis sebagai jawaban atas permintaan guru bahasaku kemarin. Tugas yang menumpuk pun telah menantiku dengan setia.
Di siang hari yang panasnya cukup menyengat, aku bermaksud untuk melanjutkan naskah drama yang akan dikumpulkan besok sebagai tugas akhir semesterku. Kutarik dengan segera ransel merahku. Langkah kaki ini dengan segera menuju ke luar rumah.
Tiba – tiba, aku merasa cukup tertarik pada sebuah bangunan tua yang letaknya tak jauh dari rumahku. Bangunan itu merupakan sebuah rumah kosong yang telah lama ditinggal oleh pemiliknya. Karena tak terkunci, langsung saja aku melangkah masuk.
Kaki ini lebih memilih untuk melangkah menuju taman belakangnya. Kurasa itu tempat yang cukup tenang bagiku untuk menyelesaikan sebuah naskah drama. Langkahku terhenti saat melihat ada sepercik darah di dinding rumah itu. Darah itu tampaknya masih segar. Masih baru. Aku memberanikan diri untuk terus melangkah. Penasaran dengan darah itu.
Krrkk !!
Kudengar ada suara ranting yang terinjak oleh seseorang. Jantungku berdebar kencang. Takut bila ada sesuatu yang membahayakan terjadi. Aku merasa pusing. Penglihatanku mulai kabur. Tapi masih jelas dalam pandanganku sesosok manusia yang berjalan menyeret sepotong tubuh tak bernyawa yang telah terbelah dua dengan tangannya. Tunggu dulu !! Aku kenal sosok itu ! Itu Alen ! Aku tak lagi melihat apa – apa.
Kudengar ada suara ranting yang terinjak oleh seseorang. Jantungku berdebar kencang. Takut bila ada sesuatu yang membahayakan terjadi. Aku merasa pusing. Penglihatanku mulai kabur. Tapi masih jelas dalam pandanganku sesosok manusia yang berjalan menyeret sepotong tubuh tak bernyawa yang telah terbelah dua dengan tangannya. Tunggu dulu !! Aku kenal sosok itu ! Itu Alen ! Aku tak lagi melihat apa – apa.
Ugh. Sepertinya tadi aku pingsan. Perlahan kucoba untuk membuka kedua kelopak mataku. Aku merasa bahwa kini aku berada di atas sebuah ranjang. Kupandang sekelilingku.
“ Alen ?” tanyaku dengan suara parau.
“ Ya. Ini aku, Rui. Kamu baik – baik aja ?” Alen balik bertanya.
“ Ya. Ini aku, Rui. Kamu baik – baik aja ?” Alen balik bertanya.
Aku hanya mampu menganggukkan kepalaku. Kupandang Alen yang sepertinya cukup cemas padaku. Saat ia mencoba menyentuhku, langsung saja kutepis tangannya.
“ Kenapa ?” Alen tampak sedih.
“ Kamu pikir aku gak tau apa yang udah kamu lakuin ?!” seruku kasar.
“ Rui, tenang dulu.”
“ Sejak kapan kamu kayak gini, Alen ?! Sejak kapan ?!” aku bertanya dengan nada sedih padanya.
“ Evan,” jawabnya singkat.
“ Kenapa ?” Alen tampak sedih.
“ Kamu pikir aku gak tau apa yang udah kamu lakuin ?!” seruku kasar.
“ Rui, tenang dulu.”
“ Sejak kapan kamu kayak gini, Alen ?! Sejak kapan ?!” aku bertanya dengan nada sedih padanya.
“ Evan,” jawabnya singkat.
Mendengar jawaban Alen, aku hanya tertegun. Dengan segera aku berpamitan pulang. Sepanjang jalan pikiranku tak menentu. ‘Kurasa ini semua pasti gara – gara Evan. Ada hal yang telah ia lakukan. Ia pasti dalang dari semua kejadian ini. Aku yakin itu,’ gumamku.
Sepanjang minggu – minggu ini, aku terus mengawasi gerak gerik Evan. Yang memperkuat dugaanku adalah ia mengeluarkan sebilah pisau dari dalam tasnya saat Alen kebingungan karena membawa mangga yang lupa ia kupas. Bagaimana mungkin ia kebetulan membawa pisau itu bila tak punya maksud tertentu ??
Pulangnya aku ikut dengan mereka berdua ke ‘Paris van Java’. Evan katanya lagi banyak rejeki. Entah gimana dia ampe segitunya mau nraktir aku juga. Aku sedikit menaruh curiga pada uang yang diperolehnya. ‘Apakah ia seorang pembunuh bayaran ?’ pikirku.
Hari berikutnya, ada rapat OSIS yang membuatku gagal pulang cepat untuk ke bioskop. Aku membiarkan Evan yang memimpin rapat kali ini. Aku lelah. Setelah semua merasa cukup puas dengan keputusan yang diambil, rapat pun dibubarkan.
Aku masih saja terduduk di kursiku. Menatap file – file yang berserakan di atas meja. Langkahku terasa berat. Aku bermaksud untuk segera pulang. Cklk ! Ada suara orang yang membuka pintu ruang OSIS. Aku terkejut dan membalikkan tubuhku yang telah basah oleh keringat. Oh, ternyata Evan.
“ Tasku ketinggalan,” ucapnya sambil tersenyum.
“ Aku kaget banget tadi. Kirain siapa yang masuk,” ujarku pada Evan yang menarik ransel hitamnya.
“ Aku kaget banget tadi. Kirain siapa yang masuk,” ujarku pada Evan yang menarik ransel hitamnya.
Kepalaku terasa sangat sakit. Pandanganku mulai kabur. Entah ada apa dengan fisikku hari ini. Zap !! Aku tak melihat apa – apa lagi. Sepertinya aku pingsan.
“ Apa yang terjadi ?” tanyaku saat mulai tersadar.
Aku bangkit berdiri dan melihat ke sekelilingku. Lihat Evan !! Kenapa ia tergeletak bersimbah darah ?! Aku pun terkena percikan darah itu !! “ Apa yang sebenarnya terjadi !?! “ pekikku histeris.
Aku bangkit berdiri dan melihat ke sekelilingku. Lihat Evan !! Kenapa ia tergeletak bersimbah darah ?! Aku pun terkena percikan darah itu !! “ Apa yang sebenarnya terjadi !?! “ pekikku histeris.
Krrrtt..
Suara pintu dibuka oleh seseorang. Aku menoleh. Alen. Dia melangkah masuk.
“ Rui, kamu kenapa ? Hah ?! Evan !! Rui, dia kenapa, Rui…!?!? “ Alen panik, menoleh padaku dan sesekali menunjuk tubuh Evan yang tergeletak di lantai. Aku hanya dapat menggelengkan kepalaku.
Suara pintu dibuka oleh seseorang. Aku menoleh. Alen. Dia melangkah masuk.
“ Rui, kamu kenapa ? Hah ?! Evan !! Rui, dia kenapa, Rui…!?!? “ Alen panik, menoleh padaku dan sesekali menunjuk tubuh Evan yang tergeletak di lantai. Aku hanya dapat menggelengkan kepalaku.
“ Aku nggak tau, Len. Sebenarnya ada apa ??” aku masih bingung dengan apa yang terjadi di sini.
“ Rui, kamu….kamu pasti….” kata – katanya terputus. Wajahnya pucat pasi. Ia menghampiri aku yang jatuh terduduk.
“ Alen, kamu kenapa ?” tanyaku polos.
“ Rui !! Kenapa harus Evan ?! Tak kuduga aku salah telah menyembunyikan segalanya dari orang – orang selama ini !! ” pekik Alen.
“ Rui, kamu….kamu pasti….” kata – katanya terputus. Wajahnya pucat pasi. Ia menghampiri aku yang jatuh terduduk.
“ Alen, kamu kenapa ?” tanyaku polos.
“ Rui !! Kenapa harus Evan ?! Tak kuduga aku salah telah menyembunyikan segalanya dari orang – orang selama ini !! ” pekik Alen.
Aku tercengang mendengar kata – katanya. Otakku mulai bekerja dengan baik. Terbayang berbagai peristiwa pembantaian di benakku. Oh, tidak !! Itu aku ! Aku yang telah membunuhnya !! Aku….aku….
“ Cukup, Rui ! hentikan semua perbuatan bodohmu ini. Udah lama aku bersabar dan menutupi semua perbuatanmu yang sangat tak masuk akal belakangan ini. Aku tak menyangka kalau kamu malah melakukannya pada Evan,” lanjut Alen.
“ Cukup, Rui ! hentikan semua perbuatan bodohmu ini. Udah lama aku bersabar dan menutupi semua perbuatanmu yang sangat tak masuk akal belakangan ini. Aku tak menyangka kalau kamu malah melakukannya pada Evan,” lanjut Alen.
Ya. Akulah pelakunya. Aku cukup depresi saat mengetahui bahwa Alen dan Evan jadian sesaat sebelum pelantikanku menjadi ketua OSIS. Aku depresi karena Alen tak memberitaukan hal itu padaku. Ia baru berani bilang saat aku mulai dekat dengan Evan. Alen mengira bahwa aku tidak akan suka bila ia jadian dengan sainganku.
Aku kesal karena Evan pun mendekatiku demi membuat sahabatku itu cemburu. Aku dibodohi. Tak terima dengan permainan mereka padaku, akupun melampiaskan semua itu dengan….. MEMBUNUH !! Sangat tidak wajar.
“ Maaf, Alen. Aku gak sadar dengan apa yang aku lakuin…” hanya itu kata – kata yang berani aku ucapkan padanya.
“ Maaf, Alen. Aku gak sadar dengan apa yang aku lakuin…” hanya itu kata – kata yang berani aku ucapkan padanya.
Aku merasa pandanganku mulai kabur lagi. Samar – samarkulihat Alen memegang sebilah pisau. Seolah hendak menikamku. Aku tak lagi merasakan apa – apa. Kupikir mungkin saat ini aku telah mati.
Kubuka lagi mataku. Tampak tubuh Alen telah tercabik. Ususnya terburai. Matanya masih membelalak. Menatapku. Aku ngeri melihatnya. Tanganku ? Sepertinya aku yang telah membunuhnya. Karena kulihat tanganku memegang pisau yang tadi sempat berada di tangan Alen.
“ Tiddaaa….aaakkkk !!! ” aku histeris.
Brugh ! Aku merasa tubuhku terjatuh. Lelah, begitu lelah rasanya. Hampir semua bagiannya terasa memar. Sepertinya aku pingsan lagi.
Brugh ! Aku merasa tubuhku terjatuh. Lelah, begitu lelah rasanya. Hampir semua bagiannya terasa memar. Sepertinya aku pingsan lagi.
Begitu menyilaukan cahaya yang kulihat saat membuka mataku. ‘Apa aku udah mati ?’ batinku. Aku memandang sekelilingku. Kurasakan tubuhku dipeluk hangat oleh seseorang. Bunda. Itu bundaku. Dia yang memelukku.
“ Rui, kamu udah bangun ?” ucapnya lembut.
“ Rui kenapa, Bunda ? Mana Alen ?! ” tanyaku panik.
“ Rui sayang. Kenapa nanyain Alen ?” Bunda balik bertanya.
“ Alen, Bun. Tadi Alen…”
“ Kenapa sama aku ? “ suara seseorang mengejutkanku.
“ Kenapa sama aku, Rui ? Kamu dari tadi ngigo terus, tau ?! Udah seminggu hari kamu gak sadar. Badanmu panas banget. Aku nemuin kamu di gedung tua tempat kita janjian. Ugh, kamu berat. Repot aku nyeret kamu ke rumah sakit. Haha..,” ia tertawa.
“ Hah ?! Jadi aku tadi ngigo, ya?” tanyaku lagi.
“ Ya iyalah. Kamu tuh udah pingsan lama banget. Seminggu,” jawab Alen sambil duduk di tempatku terbaring.
“ Rui kenapa, Bunda ? Mana Alen ?! ” tanyaku panik.
“ Rui sayang. Kenapa nanyain Alen ?” Bunda balik bertanya.
“ Alen, Bun. Tadi Alen…”
“ Kenapa sama aku ? “ suara seseorang mengejutkanku.
“ Kenapa sama aku, Rui ? Kamu dari tadi ngigo terus, tau ?! Udah seminggu hari kamu gak sadar. Badanmu panas banget. Aku nemuin kamu di gedung tua tempat kita janjian. Ugh, kamu berat. Repot aku nyeret kamu ke rumah sakit. Haha..,” ia tertawa.
“ Hah ?! Jadi aku tadi ngigo, ya?” tanyaku lagi.
“ Ya iyalah. Kamu tuh udah pingsan lama banget. Seminggu,” jawab Alen sambil duduk di tempatku terbaring.
Ternyata itu semua cuma mimpi. Aku memang kecapean saat itu. Tapi berhubung tugasnya harus segera dikumpulkan, aku memaksakan diri untuk pergi ke bangunan tua di komplek untuk lanjut menulis naskahku. Di sanalah aku berjanji buat ngerjainnya sama - sama Alen.
Aku tertegun. “ Hanya mimpi ya? Baguslah,” ujarku.
“ Memangnya kamu mimpi apa sih ?” Alen penasaran.
“ Ada deh. Haha…”
“ Ih, kamu nih,” tanggapnya.
Biarlah mimpi itu menjadi rahasiaku. Rahasia bahwa aku sebenarnya juga suka pada Evan Tapi gak mungkinlah ampe segitunya, kayak mimpi itu tuh. Haha…
Aku tertegun. “ Hanya mimpi ya? Baguslah,” ujarku.
“ Memangnya kamu mimpi apa sih ?” Alen penasaran.
“ Ada deh. Haha…”
“ Ih, kamu nih,” tanggapnya.
Biarlah mimpi itu menjadi rahasiaku. Rahasia bahwa aku sebenarnya juga suka pada Evan Tapi gak mungkinlah ampe segitunya, kayak mimpi itu tuh. Haha…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar